Danau Ranau merupakan sebuah danau besar yang terletak diantara Provinsi Riau dan Provinsi Lampung. Danau Ranau cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia baik masyarakat biasa maupun aktris seperti mikha tambayong, terutama pada bagian Sumatera Selatan.
Danau ini terbentuk karena sebuah gempa berskala besar, dan letusan
vulkanik, dari gunung berapi. Sehingga terciptalah sebuah cekungan yang besar.
Saat ini Danau Ranau dijadikan sebagai objek wisata, dan banyak digunakan untuk
sumber air bagi warga sekitar.
Cerita Rakyat: Si Pahit Lidah dan Si Empat Mata
Dibalik fakta mengenai Danau Ranau, ternyata terdapat sejumlah cerita, yang
berkembang di masyarakat sekitar. Dikisahkan jaman dahulu hiduplah dua pendekar
legenda di pinggiran Danau Ranau, dan dibawah kaki Gunung Simenung, yaitu Si
Pahit Lidah, dan Si Mata Empat.
Kedua tokoh ini memiliki perasaan yang paling hebat, diantara keduanya. Mereka
selalu saling bersaing, untuk membuktikan siapa yang terbaik diantara mereka,
hingga pada suatu hari si Mata Empat datang untuk menantang si Pahit Lidah.
Ia ternyata sudah mengetahui kelemahan Si Pahit Lidah. Diketahui pada saat
itu, si Pahit Lidah memiliki kelemahan terhadap bambu, yang digunakan untuk
tiang jemuran.
Empat mata menyadari, jika ia bertarung secara langsung, ia akan terkena
kutukan, dari si Pahit Lidah. Kemudian ia menggunakan cara yang curang, untuk bermaksud
membunuh si Pahit Lidah.
Mereka berdua kemudian mengadakan pertandingan secara bergiliran. Keduanya
harus tidur bertelungkup di bawah rumpun bunga aren. Lalu, buah aren di atas
akan dipotong oleh salah satu di antara mereka.
Siapa saja yang bisa menghindari bunga dan buah aren yang berat itu, maka
ialah pemenangnya. Setiap orang memiliki kesempatan, untuk memotong tiga kali,
bila buah yang dipotong tersebut, tidak mengenai musuh.
Empat Mata pada saat itu menjalankan rencana busuknya, di dalam tandan buah
aren, telah dipasangi bambu runcing dari batang Bambu Kuning. Ia bermaksud
untuk menyerang si Pahit Lidah, dengan kelemahannya.
Mereka berdua kemudian berunding, dan Si Mata Empat yang mendapat giliran
pertama. Empat Mata ternyata memiliki kekuatan, yang bisa melihat dari sisi
belakang, hal ini tentu memudahkannya, untuk menghindari buah aren yang dijatuhkan.
Si Pahit Lidah kemudian memanjat pohon aren yang ada di tepi Danau tersebut.
Kemudian buah tersebut dipotong, namun karena kemampuan penglihatannya, dengan
mudah si Empat Mata dapat menghindarinya dengan mudah.
Dengan mudahnya Si Mata Empat bisa menghindar dari runtuhan buah aren
tersebut. Pahit Lidah kemudian memotong buah aren yang lebih besar, akan tetapi
si Mata Empat dapat menghindar lagi dari jatuhan buah aren tersebut.
Hampir putus asa, Pahit Lidah memotong buah aren yang untuk yang ketiga
kalinya. namun tetap saja, si Empat Mata mampu untuk menghindarinya dengan
sangat mudah.
Pahit Lidah kemudian turun dari pohon aren tersebut, dengan perasaan kecewa,
dan kesal. Kini giliran Si Empat Mata untuk manjat pohon aren. Dengan semangat,
ia memanjat pohon tersebut, untuk menjalankan rencara busuknya, membunuh si Pahit
Lidah.
Mata empat sudah mempersiapkan peralatan untuk memotong buah aren tersebut,
kemudian meluncurlah buah aren tersebut ke arah si Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah tak menyadarinya. Ia tetap berada tepat di bawah luncuran buah
aren itu. sehingga ia pun tak dapat menghindar.
Tubuh si Pahit Lidah terkena buah aren yang telah disisipkan bambu tersebut,
ia kemudian berteriak dengan sangat kencang. Pahit Lidah kemudian tewas
seketika, secara mengenaskan.
Si Mata Empat yang kala itu di atas pohon, merasa sangat senang. Ia berhasil
membunuh si Pahit Lidah, dan membuktikan, bahwa ialah yang tersakti diantara
mereka berdua.
Akan tetapi, pada saat itu si Empat Mata memiliki rasa penasaran, mengapa
pendekar tersebut diberi julukan si Pahit Lidah. Dengan rasa penasarannya, ia
kemudian mencucukkan jarinya ke dalam mulut pendekar si Pahit Lidah tersebut.
Setelah Empat Mata menjilat air liur si Pahit Lidah, ia merasakan pahit
yang luar biasa. Ternyata air liur si Pahit lidah mengandung racun, dan membuat
si Empat Mata kesakitan. Tubuhnya membiru dan ia tewas seketika di tempat yang
sama.
Pada cerita rakyat ini memiliki pesan moral, bahwa setiap manusia, bahkan yang memiliki kesaktian sekalipun, tidak boleh
untuk menyombongkan diri. Ilmu sebaiknya digunakan untuk berbuat baik terhadap
sesama. Sifat sombong yang dimiliki seseorang, hanya akan membawa petaka.
0 Komentar