Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beberapa daerah, dan juga kebudayaannya. Selain itu, negara Indonesia memiliki beberapa cerita rakyat, yang dari jaman dahulu berkembang di masyarakat.
Cerita rakyat seperti cerita Malin Kundang, cerita Tangkuban Perahu, hingga
cerita legenda Danau Toba, merupakan beberapa cerita rakyat yang sangat
terkenal di Indonesia. Sebelum kita membahas lebih lanjut, kamu juga bisa mengetahui agama deva mahenra, aktor muda asal Indonesia. Berikut ini akan membahas cerita rakyat pendek Legenda
Rawa Pening.
Legenda Rawa Pening
Dikisahkan Legenda Rawa Pening dimulai dari sebuah desa yang bernama Desa
Ngasem. Desa tersebut terletak pada kaki Gunung Telomoyo. Konon desa tersebut
memiliki seorang kepala desa yang bernama Ki Hajar Solokantara, dan ia merupakan
seorang kepala desa yang bijaksana.
Kepala desa tersebut memiliki seorang anak perempuan, yang sangat cantik
jelita, yang bernama Endang Sawitri. Pada suatu hari, putrinya tersebut
ditugaskan oleh ayahnya agar meminjam sebuah pusaka sakti kepada sahabatnya.
Nantinya pusaka tersebut akan digunakan untuk salah satu syarat merti desa,
menolak bala. Akan tetapi, Ki Hajar Solokantara berpesan kepada anaknya, agar
benda pusaka tersebut, tidak diletakkan di atas pangkuannya. Akan tetapi, Endang
Sawitri melanggar pesan tersebut, akhirnya putri kepala desa tersebut hamil.
Kepala desa terbut kemudian memohon agar Ki Hajar bersedia menikahi
putrinya tersebut, sebab kabar kehamilan tersebut merupakan aib, bagi keluarga
dan mungkin akan cepat menyebar ke berbagai masyarakat desa.
Dengan berat hari, Ki Hajar menikahi Endang Sawitri. Hingga pada saat putri
kepala desa tersebut hendak melahirkan, ia sangat di kagetkan dengan sebuah
pernyataan, jika ia melahirkan bayi seekor naga.
Naga tersebut kemudian diberi nama Baro Klinting. Meskipun Baro Klinting
seekor naga, ia dapat berbicara dengan manusia. Untuk menghilangkan petaka dari
pusaka tersebut, Endang Sawitri meminta Baro Klinting untuk menemui ayahnya yang
sedang bertapa di Gunung Telomoyo.
Naga tersebut kemudian menemui ayahnya yang saat itu sedang bertapa
digunung. Sesampainya di gunung, Baro Klinting bersujud kepada Ki Hajar, petapa
tersebut kemudian meminta satu persyaratan pada Baro Linting.
“Jika kamu ingin menjadi manusia, ada satu persyaratan yang harus kamu
penuhi Nak” ucap Ki Hajar.
“Persyaratan apa itu ayah?”
“Jika kamu ingin menghilangkan kutukan itu, lingkari terlebih dahulu gunung
ini dengan tubuhmu, sebelum bertapa di sini, dengan begitu, kutukan itu akan
hilang” ucap Ki Hajar.
Baro Linting kemudian melakukan persyaratan dari ayahnya tersebut. Ia kemudian
melingkari Gunung Telomoyo, menggunakan badannya. Setelah melakukan persyaratan
tersebut, Baro Linting kemudian bertapa di Gunung tersebut.
Seperti yang ucapkan Ki Hajar, Baro Linting kemudian berubah menjadi
manusia, seperti layaknya manusia normal. Baro Linting kemudian turun kebawah,
untuk segera menjumpai ibunya, Endang Sawitri yang berada di desa.
Akan tetapi, saat ia menuju desa, ternyata desa tersebut sedang
melaksanakan upacara merti desa. Pada saat itu warga desa sedang berpesta
dengan menyediakan makanan, dari berbagai macam jenis. Pada saat itu Baro
Klinting sangat lapar, dan ia bermaksud ingin meminta sejumlah makanan
tersebut.
Pada saat itu ia tidak dikenali oleh warga, dan ia pada saat itu memakai
pakaian yang berantakan, sehingga Baro Klinting kemudian di usir warga. Akan tetapi
pada saat itu Baro Klinting dipanggil oleh seorang nenek tua.
“Kemarilah, Nak. Makan dan minumlah,” kata Nyai Latung.
“Terima kasih, Nek. Saya sangat lapar.”
Nenek tersebut menjelaskan, bahwa warga sekitar memang sombong, dan juga
angkuh. Bahkan warga tersebut tidak mengundang sang nenek tua tersebut ke acara
merti desa.
Pada saat itu Bao linting menyuruh nenek untuk menyiapkan lesung. Ia menyuruh
jika si nenek mendengar suara gemuruh, maka nenek tersebut harus menaiki lesung
itu.
Baro linting yang emosi, pada saat itu menancapkan sebatang lidi keatas
tanah. Ia kemudian memanggil warga, dan menantang untuk mencabutnya dari tanah.
Warga yang sangat angkuh tersebut kemudian berlomba-lomba untuk mencabutnya
dari dasar tanah, akan tetapi tidak ada satupun warga yang bisa mencabutnya. Akhirnya
Baro Linting mencabut lidi tersebut, dan seketika keluarlah air dari dalam
tanah.
Air tersebut akhirnya menenggelamkan desa, dan tersisa Baro Klinting dan Nyai Latung, yang kala itu selamat. Desa yang tenggelam tersebut kemudian menjadi sebuah danau, yang diberi nama oleh Nyai Latung sebagai Rawa Pening, yang artinya, danau berair bening.
0 Komentar