Pasti sudah
tak asing bagi kamu mendengar dongeng Malin Kundang. Dongeng yang berisi
tentang kisah seorang anak yang durhaka kepada ibunya.
Cerita yang
berasal dari provinsi Sumatra Barat ini telah menjadi cerita rakyat paling
populer karena alur kisah yang menarik dan mengandung pesan moral , menjadi
pengingat anak ketika tidak menurut kepada orang tuanya.
Buat kamu
yang ingin tau cerita lengkapnya, yuk intip dongeng Malin Kundang di bawah ini.
Malin Kundang
Pada zaman
dahulu di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di daerah Padang,
Sumatera Barat, hiduplah seorang janda bernama Mande Rubayah bersama seorang
anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang.
Sebagai
satu-satunya keluarga yang dimiliki ibunya, Malin sangat disayang dan dimanja.
Ia tumbuh menjadi anak yang baik dan juga pekerja keras. Sejak kecil, ia selalu
membantu ibunya yang harus bekerja banting tulang demi mencukupi kebutuhan
mereka sehari-hari.
Seiring
berjalannya waktu, Mande Rubayah bertambah tua dan tidak dapat bekerja keras
seperti dahulu dan akhirnya ia hanya mampu menjual kue. Suatu ketika, Malin
jatuh sakit. Mande Rubayah yang sudah tua berusaha keras untuk menyelamatkan
anaknya.
Malin yang
nyawanya hampir tidak dapat diselamatkan berhasil sembuh berkat usaha ibunya.
Sejak kejadian itu, Mande Rubayah menyadari dia sangat takut kehilangan anaknya
dan ia semakin menyayangi Malin.
Beranjak
dewasa, Malin yang kasihan dan ingin membantu ibunya, meminta izin agar
diperbolehkan pergi merantau ke kota. Kebetulan, ada kapal besar yang merapat
di Pantai Air Manis.
“Jangan Nak,
bagaimana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada mu? Tetatplah disini
bersama ibu.” ujar Mande Rubayah yang tidak ingin Malin pergi merantau.
“Ibu, aku
akan baik-baik saja, aku bisa jaga diri,” ucap Malin sembari menggenggam dan
menatap kedua mata ibunya.
“Bu, izinkan
aku memperbaiki kehidupan kita. Ini adalah kesempatan besar bagi kita. Kapal
besar belum tentu merapat setahun sekali,” tambah Malin meyakinkan ibunya.
“Baiklah,
pergi dan cepatlah kembali, Nak. Ibu akan selalu menunggumu disini,” Kata Mande
Rubayah sambil menangis.
Dengan berat
hati, Mande Rubayah pun mengizinkan Malin pergi.
“Ini untuk
bekalmu selama di perjalanan,” kata Mande Rubayah sembari menyodorkan bekal
berupa nasi yang dibungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Malin
berpamitan dan berangkat ke tanah rantau, meninggalkan ibunya seorang diri. Selama
merantau Malin tak pernah memberi kabar. Waktu berjalan sangat lambat bagi
Mande Rubayah yang sedang merindukan anaknya. Setiap hari ia memandang ke laut
berharap anaknya segera pulang.
“Di manakah
kamu sekarang, Nak?” gumamnya sambil memandangi lautan. Ia tidak pernah lupa
berdoa akan keselamatan anaknya.
“Apakah
kalian tahu Malin, anakku? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” Pertanyaan-pertanyaan
ini selalu dilontarkan Mande Rubayah ke setiap awak kapal yang merapat ke
pantai.
Mande
Rubayah semakin tua dan punggungnya pun mulai bungkuk. Bertahun-tahun ia
menantikan Malin dan akhirnya seorang nahkoda kapal yang dulu membawa Malin
menyampaikan kabar gembira.
“Mande,
anakmu sudah menikah dengan gadis cantik keturunan seorang bangsawan,” ujar
nahkoda tersebut.
Tak lama
setelah mendengar kabar tersebut, sebuah kapal megah berlayar menuju pantai.
Penduduk desa termasuk Mande Rubayah berbondong-bondong menyambut kapal
tersebut.
Terlihat
sepasang anak muda yang tersenyum bahagia di anjungan saat kapal mulai merapat.
Berkilauan baju yang mereka kenakan.
Mande
Rubayah merasakan jantungnya berdegup kencang ketika melihat pemuda yang berada
di kapal itu. Ia ikut berdesak-desakan dengan penduduk yang ingin tahu siapa
pemilik kapal tersebut.
Tidak
seperti penduduk lainnya, Mande Rubayah mengenali wajah pemuda tersebut. Ia
yakin pemuda itu adalah Malin. Ketika kapal itu sudah berlabuh, Mande Rubayah
langsung berlari dan memeluk pemuda itu.
“Malin,
anakku! Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?” katanya menahan tangis
bahagia.
Laki-laki
itu benar-benar Malin. Belum sempat ia mengutarakan apa yang ada di pikirannya,
perempuan cantik yang sebelumnya berada di anjungan kapal bersamanya berkata:
“Apakah
benar perempuan jelek ini ibumu? Kau bohong padaku! Dulu kau katakan bahwa
ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!”
Tanpa pikir
panjang, Malin langsung mendorong ibunya yang berpakaian compang-camping dan
tua renta itu. Mande Rubayah tersungkur ke pasir.
“Dasar
perempuan gila! Kamu bukan ibuku!” hardiknya.
Mande
Rubayah sangat terkejut akan perlakuan anaknya.
“Malin,
Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?”
tangisnya.
Malin merasa
sangat malu kepada istrinya. Ketika ibunya bersujud dan hendak memeluk kakinya,
ia malah menendang ibunya.
“Kau gila,
ya? Ibuku bukan orang miskin dan kotor seperti kau!” ucap Malin.
Sang ibunda
merasa sakit hati atas perlakuan yang diterimanya.
Hati Mande
Rubayah hancur. Bagaimana bisa anak yang sangat dia sayangi dan ia tunggu
bertahun-tahun bersikap seperti ini kepadanya. Ia jatuh pingsan dan pantai
sudah sepi saat ia sadar.
Kapal Malin
kembali berlayar dan meninggalkannya lagi. Ia tidak pernah menyangka anaknya
tidak mengakuinya sebagai ibu. Dadanya terasa sesak dan ia tak bisa berhenti
menangis.
Dengan hati
yang teriris, ia berdoa “Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan
perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin
Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!”
Tiba-tiba,
cuaca yang cerah berubah menjadi gelap. Hujan yang sangat lebat pun turun.
Tidak hanya itu, badai besar dan petir muncul menghantam kapal Malin. Kapalnya
hancur dan puing-puingnya terbawa ombak hingga ke pantai.
Keesokan
pagi, badai sudah berhenti. Puing-puing kapal Malin yang terbawa ombak tersebut
telah menjadi batu. Namun, ada sebongkah batu yang terlihat aneh. Batu tersebut
menyerupai tubuh manusia!
Ternyata,
batu tersebut adalah tubuh Malin Kundang, anak yang durhaka pada ibunya. Ia
telah dikutuk menjadi batu. Disela-sela batu Malin Kundang, ada ikan yang
berenang-renang yang merupakan serpihan tubuh istrinya.
Itulah
cerita Malin Kundang yang berasal dari Sumatera Barat. Cerita ini harus
dijadikan pelajaran untuk menghargai dan menyayangi orangtua yang telah merawat
mereka dengan kasih sayang yang tulus. Selain itu, jangan sombong ketika kelak
memiliki harta yang melimpah.
0 Komentar